( Sedikit Sinopsis )
Dua manusia kembar dnegan perbedaan-perbedaan telak itu hidup
berdampingan hingga dewasa. Namun perbedaan itu membuat keduanya tak selamanya
sama dalam mendapatkan apa yang mereka mau. Terutama jalinan kisah asmara.
Untuk manusia sempurna dengan satu jiwa pun kadang masih menemukan kerikil
kerikil tajam dalam menjalani suatu hubungan. Lalu bagaimana dengan dua manusia
yang seakan-akan berada dalam satu jiwa itu? Ketika salah satu diantaranya
mendapatkan cinta sejatinya, lalu satu yang lain merasa tersakiti. Hingga
seorang yang di sebut sebut sebagai cinta sejati itu harus memilih salah satu
yang menurutnya lebih butuh dirinya, lebih butuh untuk dijaga dalam segala
kekurangannya, walaupun sampai mengorbankan kasih yang sejatinya telah tertanam
lebih dulu. Lalu bagaimana alurnya jika hati lain yang tersakiti itu justru
mendapatkan kekurangan hidup yang lebih lebih parah dari seseorang yang telah
ia sandingi tanpa kasih? Apakah yang cinta sejati itu akan kembali ke pelukan
itu? Ataukah hanya pasrah dengan takdir yang akan membawanya pergi?
I (SATU)
Tiiiit ... Tiiit
... Tiiit ...
Suara klakson
mobil berdengung keras. Sangat keras dan beruntun bahkan suara ledakan bom pun
tak kalah kerasnya. Maka tak heran jika kii kedua manusia yang sedang berdiri
di depan pintu terlonjak kaget dan menatap ke asal suara.
Sedan putih
bertengger di depan rumah dengan anggunnya. Suara mesin terdengar menyala.
Deruan klakson tak hentinya beruntun. Namun pengemudinya tak juga mau
menampakkan wajahnya dan memberitahu apa maunya. Ia hanya duduk sambil merutuk
kesal.
Di depan sana, tak
jauh dari rutukan tak jelas dari sang pengemudi mobil, seorang wanita sayu
dengan wajah keibuannya melebarkan pandangan. Bibir mungil berlipstick tebal
itu mulai menyeruakan suara.
“William, ngapain
tai tit tat tit dsitu?” teriaknya perlahan. Mata tajamnya tetap menatap
seonggok besi beroda empat itu hingga kaca kemudi turun. Pemuda tampan dengan
seribu rutukan diwajahnya pun menoleh.
“Mama gak liat ini
udah jam berapa? Kalo stefan berdiri terus disitu kapan berangkatnya? Gak lucu
kalo mahasiswa magang itu datang telat.” Sembur pemuda yang bernama lengkap
William Surya Hadiansyah. Salah satu malaikat kecil yang terblang lebih tua
dari kedua malaikat kembar milik pasangan Widia Surya dan Seno Hadiansyah.
Sosok pemuda yang kerap di sapa William ini lebih condong pada sosok romantika
ayahnya. Namun bukan berarti ia jauh dengan sang mama. Hanya saja ia terlihat
malas berdekatan dengan sosok wanita yang ternyata lebih sayang dan dekat
dengan saudara kembarnya sendiri. Stefan Surya Hadiansyah !!!
Yah... dan seperti
inilah sosok seorang Stefan Surya Hadiansyah. Seonggok daging berbentuk manusia
yang mirip sekali dengan william, namun jika dilihat lebih teliti lagi, Stefan,
begitu nama panggilannya, terlihat mempunyai air muka lebih sendu dan calm.
Sorot matanya sayu, tak setajam William. Setiap ungkapan dan kata-ata yang keluar
dari bibir tipisnya begitu halus, tak semacam william yang lebih suka
marah-marah hingga membentak. Begitu juga dnegan tingkah lakunya. Keduanya
hampir memliki sikap yang bertolak belakang. Harus diketahui, hal itu karena
kedua manusia kembar memang tak selamanya sama. Bahkan perbedaan telak pun
terjadi pada diri mereka, yaitu tentang penyakit !!!
Widia bersuara
kembali, “Iya, mama tahu. Tapi kamu gak harus bunyiin klakson sekeras itu.
Nanti kalau Stefan sampai kaget gimana?”
Untuk sekarang,
coba perhatikan ekspresi William. Kedua bibirnya mengatup sempurna dnegan
lipatan-lipatan keras diwajahnya. Rahangnya mengeras menunjukkan ekspresi
kemarahan yang ditahannya kuat-kuat.
“Ahh... pokoknya
aku gak mau tahu, kalo Stefan emang mau kesekolah bareng aku, cepetan sini !!!
jangan lama-lama ngobrolnya.” Jurus William pun meluncur.
Stefan kini
beraksi. Ia tersneyum tipis memperhatikan mamanya yang sedang menghembuskan
nafas panjang. Ia bisa merasakan betapa lucunya wajah mereka berdua ketika
sedang berdebat. Anak dan ibu yang romantis.
“Ya udah ma,
Stefan bernagkat dulu ya...” katanya manis. Uluran tangannya dijabat oleh mama,
selesai mencium punggung tangan halus itu, stefan berlari kecil menuju mobil
yang naga-naganya sudah tak betah untuk cepat-cepat lari.
Widia melambaikan
tangan menghantarkan kepergian sedan putih yang kini telah menyosor mulut
gerbang dan membelah jalan raya.
Sambil tetap
merutuk, william menatap pemuda yang diakuinya sebagai pantulan cermin atas
wajahnya sendiri. Memang kedua wajah itu sangat mirip. Tak ada yang bisa
membedakan kecuali hairstyle mereka yang memang agak beda. Stefan nyaman dengan
potongan rambut berponi ala hairflipnya Justin Bieber, sedang william berambut
cepak dengan pinggiran tipis ala sekarang.
“Loe ngapaian ngeliatin
gue kayak gitu?”
Tukasan Stefan
berhasil mengalihkan pandnagan William kejalanan yang mulai macet. “Loe tumben
gak merem?” jawab William sekenanya. Rasa-rasanya memang hal itu yang patut
dipertanyakan setelah bertahun-tahun ia selalu melihat stefan memejamkan mata
saat mengendarai mobil yang ia kemudikan.
“Emang harus?”
stefan balik bertanya. Bibir tipisnya mengembang membentuk seringai kecil.
“Ya enggak. Tapi
kan biasanya gitu. Loe merem karena takut gue bawa mobilnya kaya pembalap kelas
F1.”
“Soalnya gue
sekarang mau belajar gimana rasanya berada di tengah-tengah jalan raya.”
“Emang mau
ngapain?”
“Gue mau minta
dibeliin mobil.”
“Ha?” william
terkesiap. Ini sungguhan? Baru kali ini ia mendengar stefan minta di belikan
mobil. Gak salah? “trus yang nyetir?”
“Gue.” Stefan
menunjuk dirinya dnegan bangga.
“Gak mungkin lah!”
william tersenyum sesinis mungkin.
“Kenapa?”
“Mama gak mungkin
ngizinin kamu nyetir mobil sendiri. Lagian dokter juga nyaranin kalo loe gak
usah bawa mobil sendiri. Itu bahaya tauk!!!”
“Terus seumur
hidup gue harus bergantung sama loe? Nysahin loe?”
Perkataan tajam
itu ditangkap oleh william sebagai ekspresi kemarahan dari stefan. William
menghembuskan nafas panjang. Tak menjawab, namun ia terus berfikir. Apa
kelakuannya selama ini memang sudah keterlauan? Sampai-sampai stefan yang polos
dapat berkata seprti itu? Memang, selama ini william selalu protes jika stefan
akan ikut dengannya ketika hendak ke sekolah music tempat ia belajar. Lalu
ketika ia tak ada jadwal kuliah dan mama mengharuskannya untuk mengantarkan
stefan, keluahannya pun lebih dahsyat lagi. Mungkin stefan capek mendnegar
keluhan-keluhan itu.
Lama berfikir,
ternyata mereka telah sampai di depan sekolah Stefan. “Turun Gih. Gak usah
minta yang macem-macem. Latihan yang bener biar bisa jadi pianis hebat.”
William mencoba menenangkan.
Stefan tersnenyum,
lalu turun. Disamping mobil, ia sedikit membungkuk untuk menatap wajah kakaknya
dari kaca jendela.
“Ya udah. Cepetan
ke Rumah Sakit. Latihan yang beenr biar jadi dokter hebat.”
Keduanya tertawa,
sesaat selanjutnya william melajukan mobilnya kembali.
Stefan masih
berdiri di tempatnya. Ia berbalik. Ditatapnya bangunan kuno itu. Di bawah atap
yang tak terlalu tinggi terdapat tulisan besar-besar “Savva Musical School”
yah.. dibalik gedung berukuran 100x100 meter itu ia mencurhkan sekaligus
mengasah hobinya. Disana ia belajar bermain piano, biola, sampai melukis.
Mamanya, sengaja memasukkannya ke sekolah music tersebut karena selain penyakit
yang disandangnya tidak memungkinkannya untuk terlalu lelah, ternyata stefan
memang mempunyai bakat berpiano sejak kecil. Telah banyak konser-onser yang ia
datangi dan tak sedikit pula pujian-pujian riuh serta tepuk tangan dahsyat
ketika ia telah selesai memainkan jari lentiknya di atas tus piano. Bakat
inilah yang membuat orang tuanya –terutama mama- bangga kepadanya.
Sedangkan william
...
Pemuda itu
memarkirkan sedan putihnya di parkiran rumah sakit. Telah banyak mobil-mobil
hingga kendaraan beroda dua yang berjejer rapi. Begitupun dengan mobil sport
hitam milik Sidik. Teman kuliahnya yang saat ini sedang melaksanakan praktek
bersamanya.
“Mobilnya ada,
Orangnya mana ya?”
Sedetik setelah ia
bergumam, Sidik berteriak keras-keras. Refleks william menoleh. Sidik
melambaikan tangan di koridor. Shiiit... dengan gerakan cepat william telah
sampai di sampignya dalam hitungan detik.
“Heiii udah lama?
Tumben gak telat.” Celetuk william.
“Enak aja. Emang
sejak kapan seorang DR. Sidik Edward datang telat?” sidik melengos. William pun
tertawa. Tangannya tak tahan untuk menimpuk kepala sahabat konyolnya itu.
“Caldok kaliii ...” cetusnya.
“Apaan tuh?”
“Calon Dokter.
Haha...”
Sambil tertawa
ria, keduanya berjalan memasuki area rumah sakit, di depan resepsionis, Sidik
mulai bersuara.
“Eh.. loe tahu
gak, Wil. ...”
“Gak tahu, Dik.”
Potong William.
“Belum kali. Main
potong-potong omongan orang aja.” Tukas sidik kesal.
William tersenyum
geli. “Emang apaan?”
“pembimbing kita
selama disini siapa?”
“DR. Wibowo kan?”
“nah iya, orangnya
gimana?’
“hmmm... udah tua,
botak, kaa matanya tebel, trus mukanya killer gitu. Pokoknya serem deh. Hiii..”
Sidik terkekeh.
Melihat raut wajah william ia jadi teringat akan pertama kalinya mereka
diserahkan dosen mereka untuk pratek disini. Dari ujung rambut sampai ujung
kaki semua dinilai. Apalagi william, mahasiswa yang terkenal urakan itu
seketika mendpaat semprotan ludah karena berani melawan ucapannya. Hmm... dan
ternyata bukan hanya itu, acap kali mereka memeriksa konsisi pasien, mata
tuanya yang tertutup kacamata tebal itu mengintai tajam bahkan tak segan-segan
untuk memarahi masasiswa dongo itu habis-habisan ketika membuat kesalahan.
Memang sejak saat itu, keduanya tak suka dengan Dr. Botak, begitu william
menyebutnya.
Dan untuk
keceriaan Sidik pagi ini. Kalian tahu mengapa? Ternyata sidik mendengar rumor
bahwa dokter wibowo di pindah tugaskan keluar kota. Begitu sidik
mencertiakannya, william terperanjat hebat.
“Serius loe?”
“Ya iyalah Man.
Ngapain juga gue bohong. Dan asal loe tahu, dia udah pindah keluar kota tadi
malem. Jadi mulai hari ini kita gak perlu berhadapan dnegan si Botak itu, haha”
Keduanya tertawa.
“Ohya, trus
pembimbing kita siapa yang ganti?” celetuk william. Kali ini ia pasang siaga.
“Jangan bilang mukanya lebih killer dari si Bitak itu.” Ujarnya serius.
“Eitsss... jangan
salah. Justru ini tuh rezeki kita.”
“Maksudnya?”
“Pembimbing kita
yang baru itu cewek, masih fresh, muda, baru lulus tahun kemarin. Dia juga
pindahan dari cabang rumah sakit ini yang ada di luar kota.”
“Canti gak? Kalo
cantik kan bisa kita kecengin. Hahahah ...”
Gelak tawa itu
tenyata tak bertahan lama. Keduanya sama-sama terkesiap mendengar suara deheman
pelan dari belakang. Perasaan mereka pun berubah drastis. Ada aroma berbeda
dari suara itu. Siapa dia? Apa mungkin hantu yang marah karena mereka tertawa
pagi-pagi?
William menyenggol
lengan sidik. Memberi isyarat bahwa mereka harus berbalik bersama-sama. Satu...
dua... tiga.... ciaaaat ... bukan. Ternyata bukan hantu. Namun seorang bidadari
yang mampu membuat keduanya melongo. Gadis itu... cantik sekali. Komentar
mereka dalam hati. Dua bola mata yang bersinar, hidung yang mancung, dan lesung
pipi sedalan smur tak urng membuat wanita itu tampak sangat anggun.
“Kalian mahasiswa
yang magang disini kan?” tanya gadis itu. Matanya tetap menyorotkan kehangatan.
Dan tak disnagka, kedua manusia didepannya hanya mengangguk kikuk.
“Oke... untuk hari
ini dan satu bulan kedepan, kalian berada dalam pengawasan saya. So, lakukan
tugas kalian dengan baik agar bisa mengangkat nilai kalian. Oh ya, siapa yang
bernama William?”
Pertanyaan itu
membuat wiliam terkesiam. Ia mengangkat tangannya pelan.
“Oh kamu.” Lanjut
gadis itu. “Saya sarankan kamu jangan main-main dengan magang kamu kali ini.
Karena kalau kamu main-main, bisa saja kamu datang ke sini untuk yang ketiga
kalinya.”
Sidik terkekeh,
namun di depan pembimbing barunya ia tahan tawa itu sekkuat tenaga, namun
sayang, gadis itu sangat cekatan. Ia mendengar tawa tertahan itu.
“Dan kamu yang
tertawa, kalau kamu juga main-main, nasib kamu juga akan sama seperti teman
kamu.”
Gantian william
yang terkekh.
“Oh ya, nama saya
Nasya.” Gadis cantik itu melanggang pergi. William dan sidik menerawang
punggung nasya dengan rambut ikal brgelantungan itu hingga ia berbelok masuk ke
dalam ruangan.
“Gila... cantik
cantik jutek amat.” Celetuk sidik. Kali ini ia bisa tertawa puas.
“Belagu banget
tuh..” timpal william ketus.
“Dia tahu aja kalo
loe bakal kesini untuk yangketiga kalinya. Haha...”
“Ketawa loe!!! Gue
bakal buktiin kalo gue bisa lulus tahun ini. Inget itu!!!” gantian william yang
melenggang pergi, meninggalkan sidik yang makin mengeraskan tawanya.