Jumat, 03 Maret 2017

CERPEN "NEXT TO YOU" Pemeran Reva dan Boy Anak Jalanan




                “Apapun yang terjadi, bagaimanapun keadaanku, dan sampai kapanpun aku akan berusaha untuk selalu berada di sampingnya...” seorang gadis menerawang awan yang menggumpal dengan mata berkaca-kaca. Pelan namun pasti, kristal bening mulai turun.
                “Itu sumpahku dulu, saat aku telah berhasil jadi miliknya, tapi tuhan berkata lain bukan? Dan kedatanganmu kesini adalah jawaban atas doa doaku selama ini, aku butuh bantuanmu. Reva harus selalu berada di samping Boy, harus menyinari setiap hari-harinya, dan harus membuatnya selalu tersenyum. Aku butuh bantuanmu ...”
                Gadis itu menatap tajam pada setiap lekukan wajah yang mirip sekali dengannya.

^^^^^^^^^^^^^^^

Kantin sekolah ....
                Satu gelas penuh orange juice berhasil membanjiri kerongkongan Boy dalam satu tegak. Begitu rakusnya ia sampai-sampai ia menyambar es teh milik Haykal dan langsung menegaknya kembali. 2 gelas rasanya sudah cukup, padahal seharusnya masih ada segelas es teh milik Iyan yang telah di amankan olehnya, takut-takut terkena sambaran juga oleh manusia yang tengah gila hari ini.
                Selesai menaruh kembali gelas kosong itu ke atas meja, Boy mengerah kesal. hari ini memang akan menjadi hari yang paling bersejarah baginya. Dari pagi, ia sudah dibuat susah bernafas, bahkan hampir mati karena jantungan. Bagaimana tidak, siapa yang tak kaget dan heran melihat perubahan sikap Reva? Kekasihnya yang dikenal dengan siswi manis paling ramah, siswi paling berprestasi,dan yang pastinya snagat rendah hati. Sungguh sifat yang menakjubkan bukan? Lalu bagaimana reaksi seluruh siswa siswi SMA Merah Putih jika melihat Reva berubah menjadi siswi manis tapi jutek, nyebelin dan ganas. Bahkan kepada Boy pun ia tetap bersikap aneh.
                Lebih-lebih Angel, siswi senior yang di sebut-sebut sebagai ratu sekolah itu pun dibuat kelabakan akan sikapnya pagi tadi. Pasalnya, Reva yang biasanya hanya bisa bersembunyi di balik punggung Boy saat ia mengganggunya di koridor, kantin, ataupun dalam kelas, kini dengan beraninya menantang. Manyatakan sikap tak takutnya pada Angel meskipun Angel telah memasang muka paling seram dengan mata julingnya. Justru Reva yang merasa tak terima di juling-julingin mencolok mata Angel pake pulpen. Alhasil Angel pun kelabakan merasakan perih di bagian matanya. Bukan hanya itu, gadis yang nampak aneh itu juga bersumpah serapah di depan semua mata yang melihat bahwa ia tak takut pada siapapun, bahkan Angel.
                Pertanyaannya, ada apa dengan Reva?
                Pertanyaan itulah yang saat ini membuat Boy stress selama seharian. Semua soal-soal ulangan kimia yang di suguhkan tak dapat ia jawab semuanya. Ia justru merasa gusar sambil memperhatikan Reva yang nampaknya sangat santai dalam mengerjakan soal tersebut. Bahkan sekali-kali Boy melihat Reva menguap dan menggeletakkan kepalanya di atas meja. Sungguh aneh, Reva yang biasa tak mungkin seperti itu. Dia adalah gadis serius, gadis yang selalu mengerjakan setap tugas dengan maksimal. Lalu Reva yang sekarang?
                “Cewek loe kesambet setan apaan sih?” tanya Iyan dengan muka serius.
                “Ato jangan-jangan udah loe apa-apain jadinya dol kaya gitu. Haha...” Iyan dan Haykal tertawa.
                Boy justru mendesah panjang. Ia melirik kiri kanan mejanya, semua siswa membicarakan keberanian Reva dalam menghadapi Angel tadi pagi. Boy gubrak sendiri. “Aneh... aneh... aneh...” teriak Boy berulang-ulang. Haykal dan Iyan saling pandang. Kasihan juga melihat brother mereka bertampang melas kayak gini.
                “Mungkin Reva udah bosen kali jadi cewek baik-baik. Siapa tahu dia lagi bereksperimen gitu... biasa anak IPA... iya gak, kal ?” Iyan menyenggol lengan Haykal, meminta persetujuan. Sedang Haykal hanya mengangguk mengiyakan serentetan kalimat klise milik Iyan.
                “Alesan loe gak masuk akal ! mana mungkin orang bosen jadi orang baik-baik.” Tukas Boy kesal. ia mendnegus kembali, bahkan lebih keras.
                Iyan menelan ludah. “Ya terus kenapa dong ?”
                Kenapa ? pertanyaan itulah yang memang sejak tadi sedang Boy pikirkan. Kenapa ? kenapa ? kenapa ? jika di ulang-ulang, sungguh membuatnya tak bisa berfikir dengan jernih. Sifat itu ada pada diri manusia itu sendiri. sifat tergantung pada kepribadian manusia itu sendiri berikut juga dengan perubahan-perubahan yang ada pada dirinya. Tapi jika perubahan itu secara drastis dan dalam kurun waktu yang cukup singkat, apa bisa di terima oleh akal sehat?
                Jika hanya di pikir, di renungkan, rasa-rasanya tak ada yang bisa mendapat jawaban yang tepat. Boy pun memberanikan diri untuk menanyakan langsung padanya.
Ketika bel pulang berbunyi, Reva melenggang begitu saja keluar dari gerbang. Huft... aneh kan? padahal biasanya dia selalu menunggu di parkiran dan pulang bersamanya. Tak sempat berfikir yang macam macam lagi, Boy segera berlari menghentikan Reva yang telah sampai di depan halte Bus.
                Boy menarik nafasnya yang ngos-ngos an. “Loe ngapain disini, Rev?” tanyanya heran.
                “Mau Pulang.” Jawab Reva singkat. “Emang kenapa?”
                “Kenapa ? ya jelaslah aneh. Loe kan biasanya selalu nungguin di parkiran, ntar pulangnya bareng gue. emang gitu kan?” Boy sedikit memancing.
                Didepannya, Reva hanya nyegir kuda. “Eh iya ya, gue lupa. Sorry...”
                Boy melongo, memberi celah pada lalat lalat untuk masuk ke dalam multnya. Untung saja ia tak berada di kawasan yang penuh tempat sampah, makannya tak ada lalat yang masuk, justru ia mendapatkan tepukan keras dari Reva tepat di pipinya. Ia mengelusnya sambil meringis.
                “Kenapa? Melongo aja?” tawa Reva pecah.
                “Rev...” tanya Boy pelan.
                “Hmmm...”
                “Loe gak papa kan?”
                “Maksutnya?” Reva mengerutkan dahi.
                “Yah... loe gak sakit? Ato kesambet mungkin.”
                Reva terdiam seketika. Ia berhenti tertawa. otot-otot wajahnya terasa menegang. Ia kemudian membuang nafas. Mungkinkah hari ini ia melakukan tindakan yang salah? Bersikap ganas, brutal saat ia menjadi sosok Reva? Huft...
                “Rev, gue gak tahu ya apa yang udah loe lakuin di Amerika selama liburan kemarin. tapi aneh aja, pas loe udah pulang, loe udah disini nih ... sifat loe berubah.” Boy memandang tajam, layaknya seorang wartawan yang sedang menginterogasi.
                Reva justru tertawa lebar kembali. Boy pun semakin bingung, pusing tujuh keliling. “Loe kudet banget ya, Boy. Loe tahu kan kalo di Amerika itu pergaulannya kayak gimana? Kalo gue masih tetep menye-menye, yang ada ntar gue di lindes abis. Jadi telur gulung deh gue.. hehe.”
                “Tapi...”
                “Udah ! Stop ! ga usah pake tapi-tapian lagi. Tuh bus nya udah lewat...” Reva menunjuk pada sebuah bis yang sedang mealju ke arahnya, kini bus tersebut berhenti tepat di hadapan mereka, para siswa siswi yang sedari tadi menunggu berbondong-bondong masuk ke dalam. Tak lain dengan Reva, gadis itu menarik Boy agar masuk ke dalam bis. Tentu saja Boy menolak, dan inilah alasannya...
                “Sejak kapan loe naik Bus? Dan gue gak bisa naik Bus... bawaaannya pengen muntah muntah.” Teriak Boy yang masih saja di bawah, sedang Reva tengah bertengger di pintu bus. Ia menarik lengan Boy kuat-kuat.
                “Cemen banget sih loe... udah cepetan masuk!!!”
                “Tapi...”
                “Kebiasaan loe! Pake acara tapi tapian.” Tak sabar, Reva menarik paksa Boy. Alhasil Boy pun masuk ke dalam bus, dan bus mulai melaju.
                Boy menutup mulut dan hidungnya kuat-kuat. Ia sangat tak suka dengan Bus. Bau mesinnya, bau solarnya, bau keringat-keringat dari penumpang membuat perutnya mual. Ia pun ingin muntah muntah. Ia tetap membungkam mulutnya yang kini mulai menggembung, menahan air liur yang ingin di semburkannya.
                “Loe kenapa sih? Kampungan banget. Masak naik bus muntah? Kayak anak kecil aja loe...” gerutu Reva sebal. Ia membuka paksa bekapan tangan Boy pada mulutnya sendiri. “Udah... jangan di pikirin muntahnya, liat tuh pemandangan... tuh... bagus kan?”
                Boy hanya menggeleng.
                Reva menarik nafas. “ Ya udah,merem aja deh. Cepetan !!”
                Boy tak bisa menolak, dan seeprtinya itu jalan satu-satunya. Ia pun memejamkan matanya rapat-rapat, lalu merebahkan punggungnya ke jok tempatnya duduk. Karena goyangan bus yang tak stabil, kepalnya ikut bergoyang goyang dan akhirnya jatuh ke pundak Reva. Reva menatap wajah dengan mata yang terpejam itu.
                “Ganteng juga... pantesan Reva kesengsem.” Gumamnya dalam hati, lalu ia tersenyum.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

                “Apa? Sop ayam?” teriak Reva keras-keras. Ia berjalan ngalor ngidul di kamarnya dengan gusar. Sedang suara di telepon terdengar memohon.
                “Iya, Rev... Sop ayam yang biasanya loe kasih ke gue kalo lagi sakit gini. Lagian gue sakit juga gara-gara loe kan? maksa-maksa gue naik Bus sampe gue masuk angin gini.”
                Boy nampak berceloteh, dan Reva justru tertawa mengingat pengalaman kemarin yang membuatnya geli. Boy memang aneh. Masakan sesudah turun dari bus, dia langsung mengeluarkan isi perutnya. Muntah-muntah di pinggir jalan sampai membuat orang serumah kelabakan karena panik. Dan ia pun mendapat tausiah panjang dari tante Marissa, ternyata Boy itu phobia sama bus loh. Aneh kan?
                “Kok malah ketawa sih? Gak lucu tauk...” suara Boy terdengar berat. Reva tahu bahwa saat ini Boy sedang memanyunan bibirnya hingga memanjang 5 cm. Pasti sangat lucu. Pikirnya.
                “Ok ... ok ... sorry.” Ucap Reva akhirnya.
                “Tapi mau kan buatin aku sop?”
                Reva terlihat mendesah. “Kenapa harus buat sih? Kenapa gak beli aja? Lebih enak. Ato yang lainnya aja deh. Pizza, hotdog, ato burger kek”
                “Reva... obat yang bisa bikin gue sembuh tuh Cuma sop ayam buatan loe. Udah deh, gak usag banyak nawar, buatin gue sekarang, ntar anterin ke rumah gue ya. GPL. Gue mau tidur dulu..”
                “Whuuu ... dia pikir gue tukang pesen anter apa? Maen nyuruh-nyuruh seenaknya aja.” Geruru Reva saat telepon telah di putus oleh Boy tanpa memberinya ruang untuk ngedumel dulu. Ia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Sop ayam yang biasa Reva buatkan untuk Boy. Bagaimana ia bisa membuat? Pergi ke dapur aja dia gak pernah. Mungkin ia tak tahu gimana caranya mengidupkan kompor. Huft... ia memutar otak, berfikir sejenak untuk mencari ide cemerlang. Dan AHAAA ... sebuah lampu menyala di atas kepalanya. Ia bangun dengan wajah sumringah.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^

                “Duhhh... masih sakit ya?” Boy mengelus jari tengan Reva yang terbalut plester dengan wajah bersalahnya. “Sorry, ya... gara-gara buatin sop ayam buat gue, loe jadi luka kayak gini.” Lanjutnya, dengan nada suara yang dibuat sebersalam mungkin.
                Reva hanya tersenyum geli. Yes !! usahanya berhasil. Boy percaya pada skenarionya. Tapi demi menjaga permainnya, ia nampak sedikit meringis menahan sakit. “Y, gak papa kok. apa sih yang gak buat Boy...” katanya memuji.
                “Hu...” Boy mengacak-acak kepala Reva gemas.
                “Tapi udah sembuh kan? dah gak sakit? Kan udah gue buatin sop ayam kesukaan loe. Yah walaupun rasanya gak kayak biasanya, kan tangan gue sakit kaya gini.” Celoteh Reva panjang lebar.
                “Iya... udah sembuh kok. nih buktinya udah berangkat ke sekolah.”
                “Ya udah deh, gue ke kelas dulu ya, Boy. Ada PR yang belum gue kerjain.”
                “Ok... ati-ati. Gue mau nungguin Haykal ama Iyan dulu disini, biasa, mereka suka telat.”
                “Ok...” Reva mengacungkan jempolnya lalu mulai berjalan meninggalkan Boy yang masih berdiri di koridor sekolah. Ia terus berjalan dengan berbunga-bunga. “Yes !! gue berhasil. Boy percaya aja kalo tangan gue luka, padahal mah ini Cuma boongan.”  teriaknya girang. Dan pikirannya sedikit miring sepertinya. Karena ia pikir, ternyata jatuh cinta itu tak selamanya rumit. Bahkan bisa sebahagia ini.
                Hmm... baru saja ia meresapi kebahagiaannya, tiba-tiba ia harus dipaksa menelan ludah karena perjalanannya di hadang oleh Angel dan dua temannya, Mitha dan Epho. Mereka bertiga berdiri di lorong kelas 3 sambil berkacak pinggang.
                Reva mengangkat wajah angkuh. Dikiranya aku bakal takut sama mereka? Ia membuang nafas, lalu berjalan tanpa melihat sebilah mata Angel yang saat ini sedang di tutup perban akibat ulahnya kemarin.ia tetap melangkah, namun rupanya Angel tak main-main. Ia menyengkal bahu Reva agar tetap berdiri di depannya.
                “Mau apa lagi loe? Hah ? oh ... mata loe yang satunya mau gue colok lagi, iya?” tantang Reva garang.
                Angel menggertakkan kaki. “Dasar cewek gak tahu di untung. Udah dapetin Boy, masih aja yah boongin dia? Maksud loe apa? Hah?”
                “Jangan asal ngomong ya! Siapa yang boong?”
                Angel tak mengeluarkan suaranya, ia justru menarik tangan Reva dan menunjukkan tepat di depan manik matanya. Reva sedikit bergidik melihat tangannya yang terbalut plester. Apa mungkin Angel mendengar semua teriakan girangnya tadi? Bodohnya ia!!! Kenapa ia bisa melakukan tindakan bodoh di tempat umum seperti ini?
                Tanpa Ba Bi Bu, Angel membuka plester yang membalut jari lentik Reva. Bola mata Reva membulat sempurna memperhatikan jari lentiknya yang tak terlihat bekas luka setitikpun. Mampus !!!
                “Gak luka kan?” Angel tersenyum evil. Ia mengerahkan tangan Reva kuat-kuat. “Loe pasti sengaja pura-pura luka biar loe bisa ngasih alesan kenapa sop ayam buatan loe gak enak. Ya iyalah... loe kan aslinya gak bisa masak. Cuman caper aja loe di depan Boy, sok sok an bisa masak. Dasar kampung !!!”
                Tak tahan dengan gejolak amarah yang telah membumbung sampai di ubun-ubun, Reva mengangkat tangan dan hendak memukul mulut Angel sampai bongsor. Namun hal itu ia urungkan ketika melihat Boy telah berdiri di samping Angel, melindungi dia yang memicingkan mata akibat ayunan tangannya. Reva tersentak. Jangan bilang kalau Boy telah mendnegar semuanya. Ia menurunkan kembali tangannya yang telah terayun setelah sebelumnya mengepal dan di erangkannya sekuat tenaga.
                Ia menghela nafas panjang, sedang Boy hanya menatapnya dengan penuh tanda tanya. Beberapa menit ia bungkam, Boy akhinya pergi dari tempat itu. Reva cepat-cepat mengejarnya.
                “Gue emang salah, dan gue minta maaf.” Teriak Reva kencang.
                Boy menoleh dengan gusar. “Bener kan apa yang gue pikirin selama ini? loe itu berubah, Rev...” jawab Boy frustasi. Ia duduk di anak tangga teratas.
                Reva masih berdiri tegang. “Gue dah ngasih alesan kan? Di Amerika ...”
                “Di Amerika gak mungkin bikin bakat masak loe ilang kan? lagian loe disana Cuma 3 minggu... itu waktu yang singkat. Gak mungkin bisa ngerubah semua sikap loe secara instan kayak gini. Aneh !!!” tukas Boy.
                Hanya helaan nafas panjang yang bisa Reva lakukan dalam keadaan skakmat seperti ini.
                “Kasih gue alesan yang logis!” pinta Boy kemudian.
                “Gue ... Gue gak bisa ngasih tahu sekarang, Boy. Waktunya gak tepat.”
                “Itu tandanya loe udah gak ngehargain gue kan? loe gak mau jujur sama gue. loe itu bukan Reva yang selama ini gue kenal.” Boy mendengus kesal, lalu melangkahkan kakinya cepat-cepat masuk ke dalam kelas.
                Di tempatnya, Reva berteriak lantang, “Gue emang bukan Reva yang loe kenal... tapi gue adalah...” gadis itu berhenti mengumpat ketika mendapati Angel beserta antek-anteknya berdiri di balik tembok, ia tahu mereka sedang menguping, dan ia gak mungkin membocorkan rahasianya sedini ini. ia akhirnya mengaung dan pergi.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

                “Dia marah sama gue, gara-gara gue ketahuan boong. Masak iya gue di suruh masakin sop ayam buat dia? Ya gue mana bisa? Gue akhirnya pura-pura aja kena pisau, trus gue beli deh sop ayam di warung perempatan. Eh... di sekolah ada Angel n the genk yang bongkar semuanya. Hari ini baner-benar gila !” celoteh Reva panjang lebar di telepon.
                Suara di seberang sana terdengar tertawa kecil. “Loe baik-baikin dia gih, biasanya dia marahnya gak lama kok. paling sehari dua hari udah gak. Manjain aja dia dulu.”
                “Ih... males banget.”
                “Ini demi gue.” suara di telepon terdengar melirih. Reva menggigit bibir. “Gak akan lama lagi kok. seminggu lagi gue balik.”
                “Cepet banget.”
                “Gue pengen cepet-cepet aja.”
                Reva memiringkan bibir. “Ya udah deh... demi loe. Lagian gak lama lagi.”
                “Makasih.”
                “Urwell.”

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

                Sudah tiga hari ini Boy marah. Ia tak mau antar jemput Reva lagi, tak mau ngomong, bahkan memandang pun jarang. Awalnya sih Reva cuek cuek aja. Gak penting juga. Pikirnya. Tapi setelah percakapannya di telepon tadi malem, ia tak tega membuat saudaranya kecewa. Ia akhirnya melaksanakan tugasnya dengan baik. Dan tugas pertamanya adalah ... membaiki Boy hingga ia melihat senyum tulusnya kembali.
                Sepulang sekolah ia menyeret paksa Boy dari dalam kelas ke halte bus. Walaupun sepanjang perjalanan cowok karismatik itu ngedumel gak jelas, Reva tetap saja bersikeras membawanya tanpa ampun.
                Boy mendengus kesal ketika Reva menghentikannya di halte bus. “Mau ngapain loe disini? Mau bikin gue sakit lagi? Trus mau bohongin gue pake sop di warung perempatan?” tukasnya judes.
                Reva justru tertawa pelan sambil melipat tangannya di dada. “Gak usah bawel yah...” katanya semanis mungkin.
                “Gue gak mau. Titik!!!” seperti hal nya dua kepala yang telah mejnadi batu, Boy pun ikut bersikeras pergi dari tempat itu. Walaupun Reva menahannya dengan seribu umpatan, ia tetap melangkahkan kakinya menjauhi halte bus. Tak ada yang bisa dilakukan lagi keculai mengejar Boy yang mulai menjauh.
                “Boy... Boy...” teriak Reva tersungut-sungut. Sambil tetap mengejar langkahnya tentu.
                “Dasar cowok jelek!!! Berhenti ato gue pulang sekarang?”
                Boy menoleh kasar. “Pulang aja! Emang siapa yang nyuruh loe ngikutin gue?” katanya ketus.
                “Eh dasar! Kalo bukan karena Reva juga gue gak sudi...”
                “Apa? Loe bilang apa tadi?” Boy mengerutkan dahi hingga terlihat kerutan tajam berlipat itu, ia memajukan badannya hingga sedekat mungkin pada Reva, gadis yang berdiri tegang dengan dua tangan yang menutup mulutnya kuat-kuat. Bisa-bisanya ia kelewat bicara seperti tadi. Huh...
                “Reva, jawab gue dong!!!” teriak Boy stress.
                Reva membuka mulutnya  pelan. “Iya... maksud gue... karena Reva... berati karena gue. lebih tepatnya lagi karena hati gue yang gak mau kehilangan loe.” Ia menunduk sekelebat. Semoga saja Boy percaya. Pikirnya dalam hati.
                “Gue gak percaya. Jelas-jelas loe itu bilang karena Reva, seolah-olah Reva itu orang lain.” Tukas Boy lagi.
                “Loe ngaco ya! Mana mungkin Reva tuh orang lain? Reva ya gue lah.”
                “Tapi Reva yang dulu tuh beda !!!”
                “Oh jadi gitu, loe Cuma liat Reva dari satu kepribadian dia aja? Dan itu dulu? Hello... Boy... orang itu gak selalu stagnan dalam satu posisi. inget Boy, roda itu berputar. Dan perputaran itu bisa mengubah segalanya. Pengemis aja bisa jadi presiden, kenapa gue gak?” Reva berteriak emosi, dan itu berhasil membungkam mulut Boy dengan sendirinya.
                Gadis itu nampaknya masih di landa amarah yang mungkin telah berasap. “Kalo loe emang tulus sayang sama gue, harusnya loe bisa nerima semua perubahan dalam diri gue. itu kalo loe BENERAN SAYANG SAMA GUE!”
                Penekanan kata terakhir itu menegakkan bulu bulu Boy. Tak disangka ia mendapati Reva semarah ini? harusnya kan dirinya yang marah? Kenapa ini jadi kebalik? Boy mengerjap-ngerjab ketika melihat Reva berbalik badan dan hendak melangkah. Dengan cepat ia menarik tangan gadis itu.
                “Iya, gue minta maaf...” katanya memelas.
                “Janji gak bakal bikin gue naik darah lagi?” kata Reva menantang.
                Boy mengangguk angguk. “Tapi gue pengen denger alasan loe. Pliss...”
                “Ok... gue janji bakal ngasih tahu. Tapi gak sekarang.”
                “trus kapan? Kenapa musti di tunda tunda sih?”
                “Hush !! jangan bawel lagi. Mendingansekarang loe ikut gue.”
                “Kemana?”
                “Udah... ikut aja.” Reva menghentikan laju bus yang kebetulan kewat di hadapan mereka. Tanpa basa basi, walaupun ia tahu Boymenolak mentah-mentah bahkan hendak kabur, ia tetap saja mendorong Boy agar mau masuk ke dalam bus. Di bantu oleh bapak kondektur bus tersebut, akhirnya Reva berhasil membuat Boy hampir menangis ketika badannya yang mungil di bopong masuk ke dalam bus. Reva justru tertawa renyah melihat kekonyolan itu.

^^^^^^^^^^^^^^^^

3 Bulan Kemudian ...

                Ternyata semua tak sejalan dengan apa yang terpikirkan olehnya. Gadis itu seolah harus melepas apa yang selama ini sangat bahagia ketika memiliki. Mungkin kedekatannya dengan Boy ‘sebagai Reva’ bisa dibilang baru seuumuran jagung, tapi jika keduanya dibuat seoalah-olah saling mengenal telah lama dan dituntut untuk selalu dekat, mungkin perasaan lain akan tumbuh. Dan jika perasaan itu tumbuh perlahan lahan, hal yang tak diinginkannya justru datang.
                Kehilangan itu dirasakannya saat kepulangannya dari taman bersama Boy ketika hari mulai senja. Sejak sepulang sekolah ia memang menghabiskan waktu di taman itu. Dan ketika hati masih nampak berbunga-bunga, ia dipaksa menelan ludah dengan susah payah karena mendapati sesosok gadis cantik duduk di kamarnya.
                REVA ASLI TELAH DATANG. Bisiknya dengan hati tercekat.
                Lalu yang membuat bingung, siapa dia sebenarnya?
                Jika diulas saat masa sekitar empat bulan yang lalu, ketika Reva bersama mama datang ke Amerika, datang untuknya dan papa. Mungkin perlu diulas kembali masa 7 tahun yang lalu, ketika dua saudara kembar itu di pisahkan oleh orang tua mereka dalam kata perceraian. Reva yang berkepribadian kalem dan manis ikut dengan mama dan tetap tinggal di Indonesia. Sedangkan Rena, gadis cilik yang memang agak tomboy dengan perwakan kokoh itu di bopong oleh ayahnya untuk tinggal di Amerika. Saat itulah mereka tak pernah bersatu hingga tak ada orang lain yang tahu bahwa Reva maupun Rena mempunyai saudara kembar.
                Dan masa  4 bulan yang lalu, Reva dan mama datang bukan tanpa alasan. Mereka datang untuk berobat. Reva, di vonis mengidap kanker Liver. Dan ia akan menjalani pengobatan disana. pertemuan itulah yang membuat Rena terjun dalam jurang keindahan ini. dimana Reva memintanya untuk berubah menjadi Diri Reva yang lembut, manis dan ramah. Penampilan pun tak ayal untuk berubah. Rambutnya yang acak acakan dan bercat merah di potong rapi dan diwarnai hitam legam kembali. lalu gaya bicara, gaya berjalan, semua di perbaiki, meskipun hasilnya tak setotal yang ia Reva mau. Tapi itu lebih dari cukup karena nampaknya pun Boy telah percaya pada penyamaran itu.
                Dan disaat semuanya telah berjalan lancar, disaat Rena telah bersusah payah mengubah dirinya menjadi sosok Reva hanya untuk Boy, haruskah ia melepas semua ini?
                Nampaknya Reva merasa di pandangi, ia menoleh dan menemukan Rena sedang mematung di ambang pintu. Ia segera melontarkan senyum pada saudara kembarnya.
                “Hai Rena ...” sapanya ramah. Ada secuil senyum ketulusan di balik kalimatnya.
                Lamunan Rena buyar seketika. Ia berjalan kikuk untuk masuk ke dalam kamar. “Reva... sejak kapan loe pulang ?” tanyanya canggung.
                “Tadi pagi dan baru sampe siang ini. gimana kabarmu?”
                “Baik. Loe sendiri?”
                Reva tersenyum manis. Namun di balik itu, Rena justru memandangnya dengan miris. Lihat saja perubahan apa saja yang terjadi gadis manis itu. Senyumnya mungkin masih semanis dulu, tapi tak dengan wajahnya yang ampak pucat. Berat badannya juga mungkin turun berkilo-kilo. Ada lingkran hitam juga yang menyelimuti bola mata indahnya.
                “Gak ada yang lebih baik dari aku...” katanya lirih.
                Rena mendekat, duduk di sampingnya dan mengelus pundaknya lembut sebagai ungkapan empatinya. Ia tahu bahwa penyakit itu masih betah di tubuh Reva.
                “Kanker di tubuhku udah memasuki stadium akhir. Dan dokter bilang, umurku udah gak panjang lagi.” Reva tersenyum pahit. “Aku udah nyerah, Ren... aku udah pasrah tuhan akan jemput aku kapan aja. Dan sebelum itu terjadi, aku pengen banget ketemu Boy karena Cuma dia penyemangat hidupku selama ini.” lanjutnya kemudian.
                Rena menggingit bibir, ngilu, dengan nanar ia menatap saudara kembarnya itu lalu mengangguk mengiyakan.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

                Waktu berjalan cepat. Tak terasa malam yang sunyi kini telah berganti dengan pagi. Sinar matahari mulai menerangi berbagai belahan dunia. Dan beberapa manusia pun tengah sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing.
                tak beda dengan Rena. Gadis itu juga tengah sibuk siap-siap untuk berangkat sekolah. Mulai dari memasukkan buku-bukunya ke dalam tas, hingga menyisir rambutnya yang nampak masih meneteskan air. Lain hal dengan Reva, gadis itu justru hanya diam berdiri di balik jendela.ia menyibakkan tirainya hingga matanya yang leung itu melihat langsung keadaan di halaman rumah mungilnya.
                Tak lama kemudian, sebuah mobil sedan merayap masuk dan terparkir di halaman yang ia pandangi. Suara klakson mulai di bunyikan, dan beberapa detik kedepan, sang pengemudi pun turun. Dengan gaya cool-nya, ia menyibakkan rambut berjambulnya lalu berjalan ke arah pintu. Reva hanya diam, bibir pucatnya mengambangkan sebuah senyum namun kristal bening turun perlahan dari kelopak matanya.
                Rena tiba-tiba mendekat. Ia ikut memandangi Boy dari balik kaca. “Temuin dia gih...” katanya tegas. Bagaimanapun juga, ia tak tega melihat saudara kembarnya merana karena hatinya. Sudah cukup ia menderita karena penyakit yang menyerangnya tanpa ampun.
                Reva menghapus air matanya telak. “Enggak... aku gak mau lihat dia sedih kalo lihat keadaan aku yang sebenarnya...”
                “Rev, kalo emang dia sayang sama loe, gue yakin dia gak bakalan sedih. Dia justru bahagia karena bisa nemenin loe di saat loe kayak gini.”
                “Ini semua gak mudah, Ren.”
                “Ya udah deh terserah loe aja. Gue cuman gak mau lihat loe ataupun Boy nyesel di kemudian hari.”
                Reva menunggingkan sebuah senyum. “Gue yakin kok sama pilihan aku. Cepet temuin dia... kasian nunggunya kelamaan.”
                “Ok deh. Gue jalan dulu.” Rena membulatkan jari jempol dan jari tengahnya, lalu berjalan keluar rumah. Di teras, ia menemukan Boy duduk dengan gusar.
                “Lama amat, Bukkk...” ledeknya ketus.
                “Iya sorry. Tadi ke toilet dulu. Biasa... panggilan alam.” Rena tampak nyengir.
                “Ihh... cantik cantik jorok banget sih.”
                “Yeee..”
                Keduanya pun tertawa. :D

                Sedang di balik jendela, Reva tetap memperhatikan gelak tawa mereka, ia ikut tertawa. namun hal itu tak lama karena tiba-tiba ia merasa kepalanya nampak pusing, bersamaan dengan turunnya darah segar dari kedua lubang hidungnya.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

                “Kondisi Reva benar-benar kritis. Saya tidak bisa memastikan sampai kapan dia akan bertahan...”
                Pulang sekolah, Rena di kagetkan dengan kabar bahwa Reva dilarikan ke rumah sakit sejak pagi hari. Lalu kalimat yang di dengarnya adalah kalimat yang sangat menyayat hati. Sampai kapan Reva bertahan? Dokter saja sudah menyerah.
                Rena berdiri di balik pintu. Lewat kaca tembus pandang yang terpasang di sana, ia bisa melihat saudara kembarnya sedang terbaring lemah dengan alat-alat medis yang menempel di seluruh tubuhnya. Ia semakin terenyuh. Betapa hebat perjuangannya melawan semua itu sendiri.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

                Boy memutar-mutar bola basket dengan jarinya. Sangat hebat. Hingga beberapa menit bola itu masih menempel sempurna di jarinya. Setelah itu, ia mengangat tinggi-tinggi dan melemparnya ke dalam ring. Ciattt ... masuk dengan sangat apik.
                Ia mengambil bola tersebut yang hampir menggelinding jauh, mendribblenya beberapa kali lalu shooting. Sttt... lemparan yan cukup bagus tapi sayang meleset, bola tersebut terpental jauh setelah terkana ring dengan keras. Boy menoleh, matanya menerawang jauh kemana bola itu mendarat. Namun seketika ia terpesona melihat Rena (Reva) datang membawa bolanya.
                Gadis itu melemparkannya ke arah Boy, “Kalo main ati-ati dong. Untung gek kena gue tadi.” Katanya ketus, lalu duduk di tengah-tengah lapangan basket tempat Boy bermain.
                “Tadi Cuma meleset aja.” Elak Boy sambil tersenyum.
                “Sama aja.”
                “Loe kok tahu kalau gue ada disini?”
                “Tadi gue ke rumah loe. Kata nyokap loe, loe lagi disini.”
                Boy tesenyum simpul sambil duduk di samping Rena (Reva) yang tampak sibuk memainkan ujung bajunya. Dari gelagatnya, ia tahu bahwa ada hal penting yang sedang di pikirkan oleh gadis itu. “Ada apa?” tanyanya pelan.
                “Ada yang pengen gue tunjukin.” Kata gadis itu agak ragu.
                “Apa?”
                “Tapi loe janji gak bakal marah sama gue.”
                Boy mengerutkan dahi. Bingung. “Emangnya mau nunjukin apa sih?”
                “Nanti juga loe bakal tahu sendiri.”
                “Main rahasia-rahasia an nih... mau ngasih surprise ceritanya?” Boy tertawa geli, namun justru di jawab Rena dengan tatapan tajam hingga mebuat Boy merasa semakin aneh dan menelan tawanya mentah mentah.
                Rena membuka tas pundaknya, lalu mengeluarkan sebuah album foto. Di tatapnya agak lama sebelum akhirnya di serahan kepada Boy. “Ini dia...” katanya sambil tersenyum canggung. Dan Boy pun menerimanya dengan canggung. Ia menatap album kuno itu dengan dahi menyerngit.
                “Album apa nih?”
                “Buka aja.”
                Boy memandang Rena (Reva) sekelebat lalu mulai menyibakkan album photo itu pada halaman pertama. Seketika ia tertawa terpingkal-pingkal melihat berjejernya photo anak kecil dengan kucir kudanya sambil menenteng tas punggung yang besar. Dan nampaknya dia masih mengenakan seragam TK. Ia tak habis pikir, Reva kecil selucu ini kah?
                Namun ada sedikit hal yang nampak mengganjal. Kenapa gadis kecil yang lucu itu tak sendiri? ada seseorang lagi di sampingnya yang selalu bersamanya. Wajah mereka sama. Baju mereka sama. Dan penampilan mereka juga sama. Ia memandang Rena untuk meminta penjelasan.
                “Loe punya kembaran?” tanyanya heran.
                Rena (Reva) tersenyum kecut. Lalu mengangguk.
                “Kok gak pernah loe kenalin ke gue sih? Emang dimana dia sekarang? Kok gak pernah tahu...” serbu Boy antusias.
                “Kembaran gue adalah orang yang selama ini telah mengisi hati loe.”
                “maksudnya?”
                Rena mengambil alih album tersebut. Jari-jari lentiknya mulai menunjuk-nunjuk ke salah satu photo dimana ia dan Reva tengah berdiri di depan ayunan. “Ini gue...” katanya sambil menunjuk pada salah satu bocah cilik yang sedikit lebih tinggi dari yang lain. “Dan ini... Reva.”
                Kalimat terakhir itu sungguh membuat Boy tak mengerti. Ia semakin memicingkan mata. “Nama kemaran loe juga Reva?”
                “Lebih tepatnya lagi, namanya emang Reva.”
                “loe jangan bikin gue bingung deh. Reva itu elo kan? dan kembaran loe namanya juga Reva. Apa gak pada bingung. Muka kalian aja mirip banget. Gimana ngebedainnya...”
                “Reva itu kembaran gue. dan Reva itu bukan gue...”
                “Hah ???”
                “Gue Rena. Kembarannya Reva. Orang yang beberapa bulan ini selalu ada di samping loe itu bukan Reva. Tapi Rena.” Rena tampak pasrah, ia memejamkan matanya. Sedang Boy mengusap wajahnya keras-keras. Ia masih belum mengerti. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Rena, Reva... dua nama itu cukup membuatnya streess. Baru setelah Rena menceritakan seluk beluk dan asal muasal skenario konyol ini terjadi, Boy cukup mengerti. Namun tetap saja ia masih stress. Bisa-bisanya dua saudara kembar itu membuatnya hampir gila. Dan bisa-bisanya juga ia percaya pada skenarionya yang menurutnya benar-benar gila.
                “Terus, dimana Reva sekarang?”
                Rena masih belum sanggup menjawab. Ia masih terisak akan tangisnya yang pecah saat ia bercerita tadi.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

                Sebuah monitor pendeteksi detak jantung nampak berjalan, lalu tetesan air infus yang juga turun perlahan. Lalu masih ada selang oksigen yang terpasang, dan bebarapa alat medis lainnya melilit di tubuh Reva. Boy hampir tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini. Reva... gadis yang selama ini menjadi tambatan hatinya, mengapa sekarang hidupnya tergantung pada semua alat medis ini? dan yang paling menyesakkan dada, ia menjalaninya sendiri, tanpa memberitahunya, tanpa mengizinkannya untuk berada di sampingnya. Ia justru menyusun skenario konyol yang sangat sangat tidak bisa ia ampuni. Ia mengerah kesal. di layangkannya kepalan tangannya ke atas kasur kuat-kuat.
                “Dia Cuma gak pengen liat loe sedih.” Kata Rena pelan.
                “Justru kalo gue baru tahu sekarang, gue bakalan sedih. Karena gue ngerasa gak di hargai...”
                “loe mau apa?” potong Rena cepat. “Loe mau Reva jujur kan? tapi Revagak mau ngelakuin itu karena dia sayang banget sama loe. Dia gak mau lihat loe sedih kalo tahu keadaannya yang sebenarnya. Sampai detik ini pun, dia tetap gak rela loe tahu. Cuman guenya aja yang nekat.”
                “Loe juga kenapa sih mau-maunya nyamar jadi Reva di depan gue? mau bikin gue itu jadi orang begok sedunia?”
                “Loe pikir gue seneng, Boy? Enggak. Gue nolak mentah-mentah kok permintaan gila ini. tapi akhirnya gue mau, dan semua itu buat Reva. Ya mungkin selama ini gue gak pernah ada di sampingnya, makannya gue pikir ini adalah jalan gue buat ngelindungin saudara kembar gue.”
                “Gila! Ini bener-bener gila! Kenapa juga gue ketipu sama loe!  Padahal jelas-jelas loe itu beda dari Reva.”
                Rena tersenyum mengejek. “Mungkin karena loe udah terlanjur cinta sama Reva.”
                Boy menatap Rena dalam-dalam. Memang benar alasan itu. Tapi mana mungkin selama ini ia memeri perhatian kepada orang yang salah? Berada di samping orang salah? Namun hatinya tetap saja tenang, tak merasakan gejolak apapun untuk menyerukan bahwa ia salah.
                Ketika masih terbius, ia merasakan sentuhan hangat di tangannya. Ia tersentak. Secepat kilat ia menoleh dan mendapati Reva tengah membuka matanya pelan-pelan. Rena makin mendekat. Begitupun dengan Boy. Ia makin mendekat, bahkan langsung mendaratkan kecupan hangat di keningnya saat gadis itu mulai terbangun.
                “Boy...” lirih Reva pelan.
                “Iya...ini aku. Kamu gak papa?”
                Reva menggeleng pelan.
                “Kamu tahu gak, kamu tuh orang palin jahat yang aku kenal. Kamu sakit, tapi gak mau ngasih tahu aku. Kamu pikir itu ide bagus?”
                “Maaf...” kanya satu kata itu yang menjadi jawaban atas serentetan kekecewaan Boy yang di ucapkannya barusan. Boy menghela nafas panjang.
                “Janji kan gak bakalan ninggalin aku?” Boy makin mengeratkan genggaman tangannya, dan Reva... gadis itu teriris. Air mata mulai membanjiri bantalnya. Mana mungkin ia memberi janji palsu pada orang yang sangat ia cintai? Lalu kuatkah ia untuk mengucapkan selamat tinggal?
                Boy semakin mendekatkan wajahnya. Ia menghapus air mata Reva dengan tulus. Lalu memberikan sepucuk ciuman pada bibir yang mengering. Tak sampai lama karena Boy harus melepasnya ketika merasakan bau anyir di hidung mancungnya. Ia menyentuh bibirnya pelan dan mendapati cairan merah menempel di sana. Ia terbelalak kaget. Lalu matanya fokus pada Reva.
                “Loe gak papa kan?” tanyanya dengan panik.
                Gadis itu masih sempat-sempatnya tersenyum walaupun saat ini kedua belah bibirnya telah terpenuhi dengan darah segar yang mengucur deras. Rena berteriak histeris. Begitupun dengan Boy, ia tersentak dan nampak gusar.
                “Ren... cepet panggil dokter. Cepet !!!!”
                Rena berlari keluar kamar, dan beberapa menit kemudian seorang dokter di temani beberapa suster berdatangan dengan langkah terburu-buru. Semuanya sibuk menangani Reva, Boy dan Rena pun di paksa untuk keluar dan menunggu.
                Menunggu. Hanya kata itu yang dilakukan oleh keduanya. Menunggu dengan gusar di kursi tunggu. Berjam jam lamanya sampai akhirnya dokter keluar dengan wajah kusutnya. Suara berat dan rasa bersalahnya mulai menyerukan kata-kata pahit. “Kami telah berusaha semaksimal mungkin, tapi tuhan berkata lain...”
                Ta ada yang bisa di lakukan kecuali sama-sama menjerit dan saling berpelukan untuk melepas semua kesakitan ini. bagai daun-daun kering yang terbawa angin, tangis mereka pun seakan terseruak jauh.

^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^

                Rena menepuk bahu Boy pelan hingga membuyarkan lamunan cowok tampan itu. Ia terkesiap lalu menoleh. Ia hanya menunggingkan sebuah senyum kepada Rena yang kini ikut berjongkok di depan makam yang baru saja di tinggalkan oleh orang-orang yang menantarkannya.
                “Sampe kapan mau disini?” tanya Rena pelan.
                Boy menggeleng. “Gak tahu.”
                “Pulang yuk. Buat nenangin diri. Udah cukup loe nangis buat dia. Gue aja udah capek.” Rena terkekeh kecil.
                “Loe pulang duluan aja. Gue masih pengen disini kok.”
                Rena menghela nafas panjang. “Gue tahu loe sedih, terpukul, kecewa dan lain sebagainya. Tapi bukan kayak gini caranya. Reva udah pergi dengan tenang. Harusnya kita yang di tinggalkan, juga harus lebih ikhlas buat ngelepasin dia.”
                “Tapi, Ren... ini tuh sesuatu yang gak pernah gue duga sebelumnya. Semuanya tiba-tiba. Gue hampir gak percaya semua ini. gue pikir ini semua ini mimpi.” Kata Boy resah.
                Kesal, Rena mencubit lengan Boy keras-keras, tak peduli saat ini Boy mengaduh kesakitan sambil menatapnya tajam. “Sakit kan? itu tandanya loe gak mimpi.”
                “Gak harus di cubit juga kalii...”
                “Biar loe sadar. Dan mencoba sabar nerima kenyataan ini. loe harus ikhlas. Pejamin mata loe dan bilang ini semua nyata. Dan loe harus bisa berjalan tegak lagi di atas kenyataan ini walau pahit.”
                Boy menatap Rena dalam-dalam. Gadis itu memejamkan mata erat-erat/ mulutnya berkomat-kamit menyebarkan petuah-petuah panjangnya. Boy menghela nafas, lalu mengikuti tindakan konyol itu. Matanya terpejam, dan ia bersru keras-keras dalam hati bahwa ia ingin berdiri tegak lagi di atas semua kenyataan ini. ia harus bisa ikhlas melepaskan Reva. Ia harus bisa. Harus !!!!
                Satu menit dua menit... ia masih terpejam. Baru ketika ia merasa hatinya sedikit tenang, ia menghembuskan nafas berat lalu membuka mata. Dilihatnya Rena tengah tersenyum simpul.
                “Gimana? Udah tenang kan?” tanyanya polos, dan di jawab dengan sepotong anggukan oleh Boy.
                “Oke kalo gitu, balik yuk. Biarin Reva tenang di tempat barunya.”
                Boy menunggingkan senyum sumbang lalu mengikuti Rena yang kini telah berdiri. Sebelum melangkah pergi, matanya menatap tajam pada batu nissan bertuliskan nama ‘Reva’ ia bergumam kecil.
                “Reva... aku pulang dulu ya... tenanglah di alam barumu. Aku janji gak bakal ngelupain kenangan-kenangan indah saat kita masih bersama...”
                “Termasuk waktu sama gue?” timpal Rena sambil terkekeh kecil.
                “Duhh Rena, jangan bikin ucapan perpisahan gue jadi gak afdhal...”
                “Sorry... piss”
                Boy melirik synasa sekelebat lalu menyerngit, “Reva... maaf ya. Saudara kamu itu emang resek. “
                “Tapi tetep aja gue udah berhasil bikin loe nyaman kan? Yah walaupun di balik nama ‘Reva’...”
                “Tuh kan, Rev ... dia mulai error. ya udah... aku pulang dulu ya... daag Reva. Aku tetep sayang sama kamu walaupun kamu udah gak di samping aku lagi. Love you ...”
                “Gue juga balik, Rev... semoga loe bisa tenang di alam sana. Kita disini gak bakalan ngelupain loe. Selamat tinggal...”
                Keduanya menampakkan setungging senyum simpul, lalu mulai berjalan. Langkah kaki yang nampak berat itu seketika terhenti ketika suara angin datang berhembus kencang menerbangkan dedaunan yang mengering. Keduanya sontak menoleh, menatap makam Reva yang masih segar, keduanya saling pandang lalu tersenyum. Dan mereka pun mulai berjalan lagi, kali ini sambil bergandengan tangan.